Pernahkah kamu menyadari, hidup ini penuh dengan dua sisi yang berbeda? Ada siang, ada malam. Ada panas, ada dingin. Ada suka, ada duka. Ada yang baik, ada yang buruk. Seringkali, kita cenderung menghindari sisi yang “negatif” dan hanya mengejar sisi yang “positif.”
Namun, dalam ajaran Hindu, khususnya di Indonesia, kedua sisi ini tidak dipandang sebagai musuh, melainkan sebagai pasangan yang saling melengkapi. Konsep inilah yang dikenal dengan Rwa Bhineda di Bali. Ini bukan hanya filosofi, tapi juga cara pandang hidup yang mengajarkan kita untuk menerima perbedaan sebagai fondasi dari harmoni, bukan konflik.
Dualitas: Sebuah Konsep Universal
Secara harfiah, Rwa berarti ‘dua’, dan Bhineda berarti ‘berbeda’. Jadi, Rwa Bhineda adalah konsep dua hal yang berbeda namun mutlak dan tak terpisahkan dalam kehidupan. Konsep dualitas ini adalah manifestasi dari energi alam semesta yang selalu berpasangan: purusa (laki-laki, simbol energi aktif) dan pradana (perempuan, simbol energi pasif). Konsep ini juga tercantum dalam kitab suci Bhagawadgita yang mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam ini terdiri dari pasangan yang berlawanan.
Di Jawa, konsep ini juga dikenal sebagai “Lor kidul, lanang wadon, ireng putih” (utara-selatan, laki-laki-perempuan, hitam-putih). Ini menggambarkan pemahaman yang sama bahwa alam semesta dan kehidupan manusia diatur oleh keseimbangan dua kekuatan yang berlawanan. Bahkan dalam tradisi kebatinan Jawa, konsep ini juga terwujud dalam pemahaman tentang “manunggaling kawula gusti” (bersatunya hamba dengan Tuhannya), yang menunjukkan adanya penyatuan antara dua hal yang berbeda.
Implementasi Filosofi dalam Tradisi Hindu di Berbagai Daerah
Konsep Rwa Bhineda tidak hanya ada dalam teks suci, tapi juga diterapkan dalam praktik nyata, baik di Bali, Jawa, maupun daerah lain di Indonesia:
- Pelinggih (Bangunan Suci) dan Pura: Di Bali, patung atau relief yang menggambarkan sosok baik dan buruk berdampingan adalah manifestasi Rwa Bhineda. Di pura, kita bisa menemukan patung Dwarapala yang sering digambarkan dengan wajah menyeramkan, berfungsi sebagai penjaga dan simbol energi negatif yang diperlukan untuk menyeimbangkan energi positif di dalam pura.
- Upacara Adat: Di Bali, upacara Butha Yajna (persembahan untuk Bhuta Kala) yang bertujuan untuk menyeimbangkan energi negatif (butha), merupakan bagian dari praktik Rwa Bhineda. Dalam tradisi Hindu Jawa, upacara Ruwatan juga memiliki tujuan serupa, yaitu membersihkan diri dari energi negatif atau sial (sengkala) agar kembali seimbang.
- Banten (Sesaji): Sesaji sering kali memuat unsur pahit dan manis, hitam dan putih. Misalnya, dalam perayaan-perayaan di Hindu Jawa, persembahan seringkali terdiri dari pasangan makanan atau benda yang berlawanan, seperti nasi merah dan nasi putih, untuk melambangkan keseimbangan.
Hubungan dengan Tri Hita Karana dan Dharma
Rwa Bhineda tidak bisa dilepaskan dari konsep dasar Hindu lainnya, seperti Tri Hita Karana dan dharma. Jika Rwa Bhineda adalah tentang keseimbangan dualitas, Tri Hita Karana adalah cara untuk mencapai keseimbangan itu melalui tiga hubungan harmonis:
- Parhyangan (Hubungan dengan Tuhan): Percaya bahwa Tuhan adalah sumber dari segala dualitas, dan tugas kita adalah menerima semua ciptaan-Nya.
- Pawongan (Hubungan dengan Sesama): Memahami bahwa setiap orang berbeda, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Rwa Bhineda mengajarkan kita untuk tidak menilai, melainkan menerima perbedaan itu sebagai kekayaan.
- Palemahan (Hubungan dengan Alam): Menghargai dualitas di alam, seperti gunung dan laut, hutan dan sungai, yang semuanya memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Dengan memahami Rwa Bhineda, kita juga belajar tentang dharma (kebaikan) dan adharma (keburukan). Adanya adharma membuat kita bisa mengerti arti pentingnya dharma, dan keduanya adalah bagian dari siklus kehidupan yang tidak bisa dihindari. Ini adalah fondasi kuat untuk membangun karakter yang inklusif, toleran, dan berpikiran terbuka.
Pertanyaan untuk Diskusi:
Menurutmu, apakah konsep Rwa Bhineda ini bisa menjadi solusi untuk mengurangi konflik antar kelompok di Indonesia yang beragam budayanya? Silakan bagikan pendapatmu!