Apakah Upacara Kita Terlalu Ribet dan Mahal?

Upacara penuh makna atau formalitas yang membebani?
Pertanyaan ini wajar. Di tengah tantangan ekonomi, kehidupan serba cepat, dan pengaruh budaya global, praktik keagamaan pun ikut dipertanyakan. Tapi sebelum kita menyimpulkan, mari kita refleksikan bersama.

Beberapa dari kita mungkin pernah merasakan situasi ini—saat keluarga sedang mempersiapkan upacara, dan suasana jadi tegang. Ada yang sibuk mengatur sesajen, ada yang sibuk urus biaya, dan ada juga yang mulai berbisik, “Wah, kok mahal banget, ya?” Ini bukan topik baru. Banyak anak muda Hindu, bahkan para orang tua, mulai bertanya-tanya: Apakah upacara keagamaan kita memang harus seribet dan semahal ini?

Upacara adalah Media Penghubung, Bukan Beban

Dalam ajaran Hindu, upacara bukanlah sekadar formalitas atau tradisi turun-temurun. Ia adalah bentuk komunikasi—antara kita dengan Sang Hyang Widhi, dengan alam, dan dengan leluhur. Lewat upacara, kita belajar menundukkan ego, melatih keikhlasan, dan menyatukan niat kolektif sebagai keluarga atau komunitas. Tapi di balik makna sakral itu, muncul tantangan: standar sosial. Ada tekanan sosial yang tak jarang membuat orang merasa harus “mewah”, “besar”, dan “lengkap”, bahkan jika itu menguras tabungan. Apakah makna bisa tergantikan oleh kemewahan?

Ketika Esensi Tergantikan Estetika

Sering kali, niat suci kita justru tertutup oleh keinginan untuk tampil. Yang penting terlihat meriah, walaupun tidak semua tahu makna dari bebanten, mantra, atau urutannya. Bahkan ada yang merasa bersalah jika tidak bisa “semewah tetangga”. Padahal, menurut Lontar Yadnya Prakerti, yang utama dalam yadnya adalah ketulusan, bukan bentuk luar. Bebanten bisa disesuaikan, upacara bisa diringkas, selama niatnya tetap lurus menuju Ida Sang Hyang Widhi.

Upacara Sesuai Desa Kala Patra

Inilah kekuatan Hindu—fleksibel tapi bermakna. Konsep desa kala patra mengajarkan bahwa setiap upacara harus menyesuaikan waktu, tempat, dan kondisi. Tidak harus sama di semua desa, tidak harus besar untuk semua keluarga. Kalau kita tinggal di kota besar, bekerja penuh waktu, dan punya keterbatasan biaya—itu bukan alasan untuk meninggalkan upacara. Justru saatnya menyederhanakan dengan bijak. Mungkin hanya membuat banten sederhana, mengucap doa, atau mengundang tetua untuk memberikan wejangan. Yang penting bukan besar atau kecilnya, tapi hadir atau tidaknya hati kita.

Ketika Anak Muda Mulai Bertanya

Tak sedikit generasi muda Hindu yang merasa terjauhkan dari makna upacara. Mereka sering melihat upacara sebagai beban logistik, bukan pengalaman spiritual. Di sinilah pentingnya keterbukaan—antara orang tua, pemangku, dan generasi baru. Bayangkan jika anak-anak muda diberi ruang untuk bertanya dan diberi jawaban yang membumi. Mungkin mereka akan lebih semangat ikut odalan, nyepi, atau piodalan keluarga. Bukan karena “disuruh”, tapi karena mengerti.

Refleksi Kecil: Untuk Apa Kita Melakukan Ini?

Coba tanya diri sendiri:

  • Saat terakhir kali mengikuti upacara, apakah aku benar-benar hadir secara batin?
  • Apakah aku paham makna dari banten yang aku buat?
  • Jika aku menyederhanakan upacara, apakah aku tetap bisa tulus?

Upacara Hindu bukanlah beban. Ia adalah jembatan untuk mengenali kembali diri kita, keluarga kita, dan hubungan kita dengan Sang Hyang Widhi. Dan seperti jembatan, tidak harus megah untuk bisa dilalui.

__________________________________

Pernahkah kamu merasa terbebani dengan upacara?
Atau justru merasa damai setelah menjalankannya?
Yuk bagikan ceritamu di komentar, siapa tahu bisa jadi refleksi bersama.

Bagikan Postingan ini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *