Setiap kali kita meletakkan canang di sanggah kemulan, mengucap doa dengan mata terpejam, atau mengikuti piodalan di pura keluarga, sering muncul pertanyaan kecil di hati:
Kalau kita sembahyang di sanggah atau pura keluarga, apakah benar para leluhur masih ada dan mendengar? Apakah para leluhur kita masih ada? Apakah mereka mendengar doa dan harapan kita?
Ini bukan pertanyaan aneh. Justru ini adalah salah satu bentuk refleksi spiritual yang sehat. Karena dalam tradisi Hindu, hubungan kita dengan leluhur tidak berhenti saat mereka meninggal. Justru saat itulah hubungan itu berubah bentuk—menjadi lebih halus, lebih dalam, dan kadang, lebih sunyi.
Pitra Yadnya: Bukti Cinta yang Abadi
Dalam Hindu, upacara untuk leluhur disebut Pitra Yadnya. Mulai dari upacara ngaben, nyekah, hingga caru dan pemelastian, semuanya bertujuan untuk menjaga agar roh para leluhur tenang dan mencapai kesucian. Namun bukan hanya saat upacara besar. Setiap hari, dengan meletakkan canang di sanggah, kita sejatinya berkomunikasi dengan mereka. Kita mengirim doa, rasa hormat, bahkan kadang curhat batin. Karena bagi kita, mereka masih menjadi bagian dari keluarga—hanya saja sudah dalam bentuk yang tak kasat mata.
Keyakinan Kolektif yang Menenangkan
Banyak orang merasa lebih tenang setelah sembahyang di depan foto leluhur atau sanggah. Ada rasa seperti “diperhatikan”, “diberi restu”, atau sekadar merasa “tidak sendirian”.
Apakah itu nyata?
Secara ilmiah, mungkin tidak bisa dibuktikan. Tapi secara spiritual dan emosional, ini nyata. Karena keyakinan bukan soal logika, tapi soal rasa. Dan dalam Hindu, rasa itu justru menjadi salah satu fondasi dalam membangun koneksi dengan alam niskala (alam tak kasat mata).
Leluhur dalam Konsep Karma dan Dharma
Leluhur yang sudah moksha diyakini menyatu dengan Sang Hyang Widhi. Tapi sebelum itu, mereka masih berada dalam proses perjalanan roh yang panjang. Dan dalam masa itu, doa dan yadnya dari keluarga dipercaya dapat membantu mereka mencapai kedamaian. Sebaliknya, doa kepada leluhur juga menjadi sarana kita sebagai keturunan untuk mendapatkan restu, perlindungan, dan arahan. Itulah sebabnya banyak orang masih merasa “diingatkan” lewat mimpi, firasat, atau kebetulan-kebetulan yang aneh tapi bermakna. Pernahkah kamu merasa seperti itu? Seperti ada yang membisikkan arah saat kamu ragu?
Hubungan Spiritual yang Tak Terputus
Tradisi Hindu mengajarkan bahwa kehidupan itu siklikal. Kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali adalah bagian dari daur hidup. Maka wajar kalau roh leluhur diyakini masih bisa “mendekat” kepada keluarga, khususnya saat-saat penting: kelahiran cucu, pembangunan rumah, atau bahkan saat ada masalah berat. Melalui pemujaan di sanggah kemulan, kita mengingatkan diri bahwa hidup ini tak lepas dari sejarah—dan bahwa kita berdiri di atas doa-doa generasi sebelumnya.
Saatnya Merefleksikan
Coba renungkan:
- Kapan terakhir kali aku mendoakan leluhurku dengan penuh kesadaran?
- Apakah aku mengerti makna dari sembahyang di sanggah kemulan, atau hanya ikut-ikutan?
- Apa yang bisa aku wariskan untuk generasiku berikutnya, sebagaimana para leluhur dulu mewariskan nilai untukku?
Apakah Mereka Mendengar?
Kita mungkin tak pernah mendapat jawaban pasti. Tapi keyakinan adalah soal hubungan batin. Jika hati kita tulus, jika doa kita penuh rasa, maka yakinlah—mereka akan tahu. Karena dalam keheningan batin, sering kali terdengar suara paling jernih.
_________________________
Pernahkah kamu merasakan kehadiran leluhur dalam hidupmu?
Atau punya kisah spiritual tentang sanggah keluarga?
Yuk, bagikan di kolom komentar—siapa tahu kisahmu bisa jadi inspirasi bagi yang lain.