Banjir Bali dan Upaya untuk Memperkuat Kembali Praktik Tri Hita Karana

Amor ing acintya, ucapan belasungkawa dalam ritus Hindu nusantara, saya ucapkan kepada para korban banjir di pulau Bali. Semoga pulau Dewata kembali seperti sedia kala.

Sekilas, banjir memang merupakan bencana alam yang kadangkala tidak bisa kita prediksi. Tentu, kita juga tidak bisa menyalahkan hujan, apalagi jika sudah musimnya. Tetapi yang perlu diingat, bahwa dalam setiap bencana, selalu ada andil dampak dari perbuatan manusia. Sebelum musibah banjir bandang di beberapa wilayah Bali yang terjadi pada Rabu (10/12) itu, persoalan lingkungan telah lebih dulu mencuat.

Dampak Kebijakan Pemerintah

Di balik tiga keuntungan pariwisata dalam bentuk perekonomian, penyebaran budaya, dan penciptaan lapangan kerja, ternyata ada tiga masalah utama yang menggeroti Bali. Di antaranya, eksploitasi, komodifikasi, dan alienasi.

Permasalahan lingkungan mulai timbul satu per satu. Seperti:  abrasi, alih fungsi lahan hijau secara berlebihan, maupun isu relasi ekologis antara manusia dan makhluk hidup lainnya.

Pemerintah setempat terkesan apatis dengan problematika yang dihadapi oleh masyarakat. Khususnya dalam konsep tata ruang dan pengelolaan yang buruk. Ketiadaan perencanaan manajemen krisis serta kemudahan dalam memberikan izin pembangunan tanpa mengkaji daya dukung lingkungan, aspek sosial, dan keberlanjutan memperbesar kerentanan terhadap bencana di masa depan yang kini kita rasakan.

Selain pemerintah, masyarakat lokal Bali juga perlu memiliki rasa mawas dan kesadaran diri. Contoh paling sederhana adalah tanggung jawab untuk mengelola sampah rumah tangga.

Alienasi dan Konsekuensinya

Dalam konteks tulisan ini, saya akan berfokus pada permasalahan keterasingan manusia Bali, termasuk masyarakat lokal dan pemerintah, dari kebudayaannya yang mengajarkan konsep keseimbangan dengan Tuhan, alam, dan manusia. Konsep ini dikenal dengan nama “Tri Hita Karana”.

Keterasingan yang dalam perspektif Marxist disebut alienasi itu, mengakibatkan sejumlah masalah. Termasuk dalam aspek sosial, psikologis, dan struktural.

Alienasi budaya menyebabkan konsekuensi emosional dan psikologis yang signifikan, seperti kecemasan, kehilangan identitas, dan meningkatnya ketidakpercayaan antara kelompok sosial. Budaya yang eksis selama ini, kemudian hanya dipandang sebagai ritus tanpa makna, bahkan cenderung dijadikan komoditas yang fokus untuk menarik lebih banyak cuan.

Adorno dan Horkheimer pernah mengkritik persoalan antara alienasi budaya dengan komodifikasi dan eksploitasi melalui konsep “industri budaya”. Ia menyebutkan bahwa barang dan ekspresi budaya yang diproduksi secara massal justru menyebabkan keterasingan, baik pencipta maupun konsumen dengan mereduksi ekspresi kreatif menjadi sekadar komoditas yang dirancang untuk keuntungan .

Proses komodifikasi ini dapat dilihat sebagai mekanisme yang tidak hanya mengeksploitasi seniman, tetapi juga mengasingkan audiens dari narasi dan praktik budaya yang autentik yang mereka wakili.

Alienasi kebudayaan memang tidak bisa lepas dari dua pengaruh negatif dari industri pariwisata yang terlalu kapitalistik. Eksploitasi dan komodifikasi juga berimbas pada dimensi sosiokultural yang membuat individu merasa terputus tidak hanya dari akar budaya mereka sendiri, tetapi juga dari konteks masyarakat yang lebih luas . Munculnya isu rasisme di Bali merupakan dampak dari alienasi pada aspek sosial, yang berkebalikan dengan sikap toleran yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali.

Di sisi lain, alienasi juga mengakibatkan hilangnya rasa memiliki yang berujung pada sikap masa bodoh dilematis. Rendahnya kesadaran untuk tidak membuang sampah menjadi  contoh nyata rendahnya rasa memiliki dan tingginya sikap masa bodoh.

Apabila sikap masa bodoh dipahami sebagai bagian dari pedoman hidup, ia dapat dipandang sejalan dengan gagasan filsuf eksistensialis yang menekankan individualisme autentik melalui prinsip Respondeo Ergo Sum (Aku bertanggung jawab, maka aku ada). Dengan demikian, alih-alih sekadar mengikuti Cogito Ergo Sum (Aku berpikir, maka aku ada), sikap masa bodoh tersebut masih dapat dimaknai secara positif.

Namun yang terjadi di Bali adalah kecenderungan untuk menjadi masa bodoh dan abai, bahkan melarikan diri dari tanggungjawab pribadi dan sosial. Jika ada yang berusaha membuat perubahan, mereka justru akan dicerca. Melarikan diri dari tanggungjawab sosial dan ketidakberesan sosial sudah tentu merupakan bentuk eksistensi palsu. Oleh karena itu, diperlukan pertambahan pengetahuan dan keteladanan yang mau tidak mau harus dimulai dari kebudayaan yang dibudayakan.

Selama ini mayoritas rakyat Bali-sebagaimana Indonesia pada umumnya-selalu terjebak dalam paradoks. Kita ingin Indonesia menjadi tertib, disiplin, dan bahagia ala negara maju, tetapi harapan itu tak diimbangi dengan kemajuan pola pikir dan pola asuh. Arah cita-cita kita tancapkan menuju kemajuan, tapi melangkahnya justru jauh dari tujuan. Kalau sudah begini, inilah wajah irasionalitas kolektif yang nyata, di mana modernitas hanyalah jargon, disiplin sebatas wacana, praktiknya feodal, dogmatis, dan penuh kebanggaan kosong.

Tri Hita Karana yang Difosilkan

Ajaran Tri Hita Karana, yang dipengaruhi oleh ajaran Hindu, menjelaskan bahwa alam dipandang sebagai manifestasi Tuhan dalam berbagai bentuk. Yakni, hujan sebagai Indra, angin sebagai Bayu, api sebagai Agni, dan laut sebagai Baruna. Bahkan dalam Weda disebutkan bahwa dari Tuhan lahirlah yadnya (persembahan suci) kepada api, laut, dan gunung. Inilah wujud harmoni yang berlandaskan saling menghormati sekaligus menjaga.

Oleh karena itu Tri Hita Karana juga terkait erat nilai-nilai Sad Kerthi, yakni  enam sumber utama kesejahteraan dan kebahagiaan kehidupan manusia. Di antaranya, Atma Kerthi(penyucian dan pemuliaan atman/jiwa), Segara Kerthi, (penyucian dan pemuliaan pantai dan laut), Danu Kerthi (penyucian dan pemuliaan sumber air), Wana Kerthi (penyucian dan pemuliaan tumbuh-tumbuhan),  Jana Kerthi (penyucian dan pemuliaan manusia), dan Jagat Kerthi (penyucian dan pemuliaan alam semesta)..

Jika keenam nilai Sad Kerthi dijadikan basis untuk menganalisis tantangan yang ada, tampak bahwa masing-masing nilai menghadapi keterancaman. Pada aspek Atma Kerthi, terjadi degradasi spiritual akibat materialisme dan memudarnya nilai luhur yang tercermin dari menurunnya praktik keagamaan yang tulus di tengah gaya hidup modern. Pada aspek Segara Kerthi dan Danu Kerthi, ancaman muncul berupa kerusakan pantai dan sumber air akibat polusi, serta eksploitasi air tanah berlebihan untuk kepentingan pariwisata.

Kemudian aspek Wana Kerthi, deforestasi dan konversi lahan hijau menjadi kawasan komersial mengakibatkan kerusakan keanekaragaman hayati dan hilangnya fungsi ekologi hutan. Pada aspek Jana Kerthi, urbanisasi dan tekanan ekonomi dari pariwisata massal memicu konflik sosial serta melemahkan solidaritas komunal. Sementara itu, pada aspek Jagat Kerthi, perubahan iklim global menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem yang turut berdampak pada Bali.

Seiring perkembangan zaman dan berbagai disrupsi yang memengaruhi kehidupan spiritual, ajaran Tri Hita Karana mulai ditinggalkan. Saat ini, Tri Hita Karana cenderung diperlakukan secara simbolis. Meskipun nilai-nilainya masih diajarkan dan bahkan dijadikan slogan pembangunan, internalisasi dan penerapannya kerap tidak berjalan. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memperkuat kembali ajaran tersebut.

Perlu Empat Langkah

Langkah pertama untuk memperkuat Tri Hita Karana adalah konsistensi dalam kehendak politis yang terarah, tegas, dan berorientasi pada ekologi. Bali sejatinya telah memiliki rencana pembangunan jangka panjang 100 tahun ke depan yang dirumuskan dalam visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana.

Namun, blueprint pembangunan tersebut tidak seharusnya berhenti pada tataran teks, melainkan perlu diwujudkan dalam bentuk kebijakan nyata yang mencakup aspek pemulihan, pencegahan, dan penindakan terhadap segala hal yang kontraproduktif dengan pola pembangunan semesta berbasis Tri Hita Karana.

Masyarakat Bali perlu proaktif dalam mengoreksi tindak tanduk pemerintah dan ikut berperan di dalamnya. Menjadi apatis bukanlah pilihan bijak. Bencana banjir bandang yang terjadi di wilayah Bali Selatan seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan kembali arah pembangunan Bali sekaligus mengoreksi apa yang salah dari pola pembangunan tersebut.

Langkah kedua adalah memperkuat budaya kepatuhan yang dalam konteks Bali dikenal dengan istilah gugon tuwon. Konsep ini mencerminkan ketaatan terhadap tradisi, leluhur, dan tatanan kosmik yang mengatur kehidupan.

Bagi sebagian kalangan intelektual, gugon tuwon sering dipandang sebagai pandangan ortodoks, primordial, bahkan kaku, yang dianggap bertentangan dengan semangat modernitas dan rasionalitas. Namun, melalui lensa sosio-antropologis hingga neurosains, kepatuhan dalam kerangka gugon tuwon tidak dapat direduksi sebagai dogma kuno semata, melainkan sebagai refleksi kompleksitas manusia sebagai makhluk sosial, spiritual, sekaligus biologis.

Langkah ketiga adalah memperkuat pengajaran agama dan budaya yang menitikberatkan pada persoalan lingkungan. Upaya ini tidak hanya dapat dilakukan melalui ceramah, tetapi juga melalui kolaborasi lintas sektoral.

Acara-acara keagamaan yang berkelindan dengan adat dalam masyarakat Hindu di Bali perlu diarahkan menjadi lebih pro-ekologis. Misalnya dengan penggunaan bahan-bahan organik, kewajiban membawa tumbler, serta penegakan aturan larangan membuang sampah sembarangan.

Seluruh komponen masyarakat Bali, khususnya generasi muda, perlu didorong untuk terlibat aktif dalam program-program keagamaan yang bersifat eko-teologis. Dengan demikian, nilai-nilai Tri Hita Karana dapat diinternalisasi sejak dini sehingga membentuk tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Langkah keempat adalah melakukan pelestarian melalui sistematika modern. Seperti halnya gagasan atau kebijaksanaan lain, budaya Tri Hita Karana mungkin akan tetap bertahan dan diwariskan, tetapi tidak banyak yang benar-benar memahami makna, manfaat, urgensi, dan relevansinya.

Oleh karena itu, diperlukan upaya sistematis untuk menempatkan Tri Hita Karana dalam ranah pemikiran sebagai teori yang utuh. Dengan adanya sistematika, ajaran ini dapat berkembang dari sekadar mitos menuju logos, sehingga mampu mewujud dalam praksis dan memberi dampak pada tiga tingkat norma menurut Nicomachean Ethics, yakni etika, hukum, dan sopan santun atau etiket.

Penulis : Putu Ayu Suniadewi

Bagikan Postingan ini!

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *