Banjir bandang yang melanda Bali pada Rabu dini hari (10/07) selain tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik dan ekologi, juga terkoneksi dengan persoalan spiritual sebagaimana menurut Shankar Ramaswami (2025) dalam setiap bencana selalu ada pantikan momentum spiritual untuk kita merenung sekaligus menyadari apa yang sudah salah. Dalam konteks ajaran dharma, baik Hindu maupun Budha ada ajaran yang disebut Karma, dari perspektif filsafat Hindu, karma diartikan sebagai tindakan yang memiliki reaksi atau hasil.
Jadi Ketika karma yang dilakukan secara individual maupun kolektif bersifat positif yang sesuai dengan ajaran Dharma (Kebenaran) maka hasilnya akan positif. Dan, jika Karma yang dilakukan secara individual maupun kolektif tadi menuju kearah ketidakbenaran (Adarma) maka hasilnya pun akan negatif. Buah dari Karma ini bisa dirasakan langsung, dikemudian hari, maupun dikehidupan nanti setelah meninggal yang jika dalam ajaran Hindu dan Budha mempercayai adanya reinkarnasi.
Penting untuk diingat, Karma yang dilakukan secara individual maupun kolektif didasarkan pada pikiran, perkataan, perbuatan, serta pilihan yang dibuat. Namun Hidup di jaman yang oleh umat Hindu diyakini sebagai jaman Kaliyuga, kadang membuat kita mudah terpeleset menjauh dari ajaran kebenaran (dharma) dalam perbuatan, perkataan, pikiran, dan pilihan.
Saat ini kita seakan-akan terjebak pada budaya diam bahkan menormalkan ketidakbenaran, pelanggaran aturan, dan kesewenang-wenangan bukan hanya terhadap Tuhan dan Manusia namun juga terhadap alam. Ajaran Hindu yang terkoneksi dengan alam sebenarnya mengajarkan cara agar manusia mengelola alam dengan bijak, di Bali bahkan ada ajaran Tri Hita Karana yang bersumber dari ajaran Hindu tentang keseimbangan antara Dunia spiritual, sosial, dan ekologis yang saat ini cenderung difosilkan.
Hubungan antara karma kolektif dan ekologis dalam hindu juga berkaitan dengan prinsip dharma dan keseimbangan kosmik (rta). Karma kolektif disini merujuk pada akumulasi tindakan manusia sebagai kelompok, yang memengaruhi lingkungan dan masyarakat secara keseluruhan. Ketika manusia secara kolektif bertindak tidak sesuai dengan dharma, seperti mengeksploitasi alam secara berlebihan, mencemari lingkungan, atau mengabaikan harmoni dengan alam, karma negatif yang dihasilkan dapat memicu bencana ekologis, seperti banjir, kekeringan, atau perubahan iklim, yang dianggap sebagai reaksi alam terhadap ketidakseimbangan.
Dalam pandangan Hindu, alam dianggap sebagai manifestasi ilahi (dewi bumi atau Prithvi), sehingga kerusakan ekologis mencerminkan pelanggaran terhadap dharma, yang pada akhirnya membawa konsekuensi bagi kesejahteraan kolektif manusia, baik dalam kehidupan saat ini maupun di masa depan.Namun dikarenakan keterabaian dan salah pemahaman terhadap ajaran kebenaran (Dharma), persoalan Karma lebih banyak yang negatif ketimbang positif.
Ada anggapan jika karma negatif yang dilakukan secara individual maupun kolektif dapat terhapus begitu saja melalui ritus-ritus ibadah, misalnya pada malam siwaratri yang dianggap malam penghapus karma padahal dimalam itu bukan Karma yang terhapus namun malam itu justru menjadi momentum untuk perenungan Dosa, malamnya keseimbangan, dan Pralina segala Pikiran, Perkataan, Perbuatan tidak baik (Asubha Karma) untuk memperkuat investasi karma kebaikan (Subha Karma).
Jika Berdasarkan pada Kisah Lubdaka (Sang Pemburu), dan Ajaran Hindu, Karma memang tidak dihapus dalam sekejap. Dalam Panca Sradha (5 Keyakinan Hindu) yang terdiri dari Yakin terhadap Brahman yang tak terbatas, Yakin pada adanya Atman yang dalam badan tiap mahluk, Yakin dengan adanya Karmaphala yaitu perbuatan yang menghasilkan pahala., Yakin dengan adanya Punarbawa dan reinkarnasi, dan Yakin dengan Adanya Moksa, kembali manunggalnya atman kepada brahma. Memang disebutkan kita harus bersiap pada karma apapun itu karena pastilah setiap karma akann berbuah dengan “benih” yang ditanam, sesuai waktu-NYA (Brahman) karena sudah oleh Sang Pemegang Surat Atma (Suratma). Dalam konteks karma kolektif yang memperparah bencana Banjir dipulau Dewata, tidak bisa terlepas dari bagaimana proses dari karma negatif itu berkerja. Karenanya kita semua sebagai masyarakat Hindu Bali perlu mempertebal spiritualitas agar semakin kuat, ajeg, eling, agar tidak terjerumus oleh berbagai godaan dunia yang dapat membuahkan karma negatif menjadi lebih parah lagi kedepannya.
Lalu bagaimana caranya membalik karma negatif menjadi positif, setidaknya saya mengusulkan ada lima hal yang mesti kita lakukan setelah banjir bandang ini yang pertama mengingat kembali kesejatian diri sebagai umat Hindu. Jangan mencoba-coba meninggalkan ajaran agama dan adat istiadat yang berlandaskan Hindu, pada yang pertama ini kita perlu memiliki konsistensi spiritual sebagaimana kutipan weda pada Atharvaveda IV. 35.2, yang berbunyi “Yenataran Bhuktakrto-Ati Mrtyum Yam Anvavidam Tapasa Sramena” yang artinya “Para dewa, para pembuat kesejahteraan manusia, mengatasi kematian dengan mengetahui Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Agung. Pengetahuan itu diperoleh melalui pertapaan dan kedisiplinan hidup”.
Yang kedua, Jangan hanya memikirkan jabatan, posisi, dan harta tanpa pernah peduli ke sesama manusia apalagi menjadi arogan karena ketiga hal itu karena hanya sementara dan teranctum dalam Sarasamuccaya Paramita 1999, sloka : 107, disebutkan “krodhah satruh carirastho manusyanam narottama, yah krodhalobhau tyajati sa loke pujyatamiyat” yang artinya “Hakekatnya yang disebut nafsu murka adalah musuh didalam diri kita, jika ada orang yang dapat menghilangkan nafsu murka itu, maka iapun akan disegani, dipuji dan dihormati selama dia ada di dunia”.
Oleh karena alih-alih menjadi arogan dan tamak, kita perlu memperbaiki kualitas hidup kita agar lebih berbudi luhur terhadap Tuhan, Alam, dan Manusia sebagaimana yang tertulis dalam Sarasamuccaya Paramita 1999, sloka : 162 ” vrttena raksyate dharmo vidya yogena raksyate, mrjaya raksyate rupam kulam silena raksyate”, yang artinya Tingkah laku yang baik merupakan alat untu menjaga dharma, sastra suci ( ilmu pengetahuan ) dan pikiran yang tetap teguh serta bulat saja merupakan upaya untuk menjunjungnya, adapun keindahan paras adalah kebersihan pemeliharaannya itu, mengenai kelahiran mulia, maka budi pekerti susila yang menegakkannya.
Yang ketiga, Jangan tamak dan rakus dalam mengeksplotasi kekayaan alam bali demi menyenangkan investor dan mendapatkan komisi karena yang mereka dapat akan cepat terambil. Dalam Sarasamuccaya, Paramita 1999, sloka 156, yang sudah diingatkan dalam bait “tasmad vakkayacittaistu nacaredasubham narah, subhasubham hyacarati tasya tasyanute phalam”, yang artinya “ Oleh karenanya, inilah harus diusahakan orang, jangan dibiarkan kata kata laksana dan pikiran melakukan perbuatan buruk, karena orang yang melakukan sesuatu yang baik, kebaikanlah yang diperolehnya, jika kejahatan yang merupakan perbuatannya, celaka yang ditemukan olehnya”.
Yang keempat, Jangan seenaknya merubah tataletak dan lingkungan karena alasan apapun karena itu merupakan tindakan yang kurang bijaksana yang berujung pada karma yang negatif sebagaimana tulis dalam Sarasamuccaya, Paramita 1999, Sloka 48 yang berbunyi “adharmarucayo mandastirya ggatiparayanah krocchram yonimanuprapya na vindanti sukham janah” yang memiliki arti “Lagi perbuatan orang yang kurang cakap, senantiasa tetap berlaku menyalahi dharma; setelah ia lepas dari neraka, menitislah ia menjadi mahluk yg lebih rendah, bila kelahirannya kemudian dia meningkat , ia menitis menjadi orang yang kurang beruntung”.
Penulis: Putu Ayu Suniadewi

Banjir Bali Sebagai Buah Karma Dan Upaya Mengatasinya
ARTIKEL TERKINI
KATEGORI POPULER
- Banjir Bali dan Upaya untuk Memperkuat Kembali Praktik Tri Hita Karana (13)
- BERITA (2)
- Cerita Di Balik Donasi (3)
- Dialog Hindu (6)
- DONASI (3)
- Hindu Modern (3)
- Kearifan Lokal (13)
- Pariwisata Hindu (2)
- Puskor Bergerak (7)
- Seni dan Budaya (6)
- Tatwa Hindu (16)
- Usaha Umat (1)
- Yowana Bangkit (5)