“Ngayah”. Satu kata yang begitu akrab dalam kehidupan umat Hindu di Indonesia, terutama di Bali. Mulai dari ngayah menyiapkan banten, ngayah di pura, ngayah pembuatan ogoh-ogoh, sampai ngayah menjadi MC acara adat. Semua dilakukan tanpa imbalan materi, hanya karena cinta dan bakti.
Tapi zaman berubah. Sekarang semua serba cepat, serba sibuk, serba digital.
Pertanyaannya: Masih relevankah ngayah di tengah dunia yang makin pragmatis?
Apa Sebenarnya Makna Ngayah?
Ngayah bukan sekadar “membantu tanpa dibayar.” Lebih dalam dari itu, ngayah adalah bentuk pengabdian tulus, ikhlas, sebagai wujud dharma dalam kehidupan. Ini bukan soal besar kecilnya peran, tapi soal niat: “Aku hadir bukan untuk dapat nama, tapi karena cinta.”
Namun, di tengah kesibukan modern, banyak dari kita mulai bertanya:
“Saya kerja dari pagi sampai malam, kapan sempat ngayah?”
“Apa bisa ngayah kalau tinggal di kota jauh dari kampung halaman?”
Ngayah Tidak Harus Fisik
Di era digital, makna ngayah pun bisa berkembang. Tidak semua ngayah harus hadir secara fisik di pura atau banjar.
Ngayah bisa hadir dalam bentuk:
- Membuat desain digital untuk acara adat.
- Menulis konten edukasi Hindu di media sosial.
- Membantu kelola grup WhatsApp umat.
- Menyumbang ide untuk upacara dari jauh.
Ngayah bukan hilang, tapi berubah bentuk, sebagaimana hal lain yang juga mengalami perubahan di era digitalisasi, modern, dan teknologi ini. Yang penting bukan di mana dan apa yang dilakukan, tapi niat suci dan kontribusi nyata.
Dunia Digital, Lahan Ngayah Baru?
Bayangkan jika anak-anak muda yang jago edit video ikut ngayah dengan membuat dokumentasi upacara di pura. Atau orang yang paham sosial media mengelola akun resmi desa adat. Bukankah itu bentuk pengabdian yang juga berharga? Ngayah kini bukan hanya soal tenaga, tapi juga keterampilan dan waktu.
Mungkin yang perlu kita renungkan:
- Apakah aku sudah melihat ngayah dalam makna yang lebih luas?
- Apakah aku menyumbangkan keahlianku untuk dharma, walau bukan secara tradisional?
Menjaga Ruh Ngayah, Meski Bentuknya Berubah
Yang perlu dijaga dari ngayah adalah semangatnya — semangat gotong royong, ikhlas, dan penuh cinta kasih. Karena tanpa semangat itu, ngayah bisa berubah jadi beban, kewajiban, bahkan ajang pamer.
Tugas kita sebagai umat Hindu masa kini adalah:
- Menjaga makna ngayah tetap hidup,
- Memberikan ruang bagi generasi muda untuk ngayah dengan caranya,
- Tidak memaksakan bentuk, tapi menumbuhkan nilai,
- Tetap memberikan apresiasi bentuk ngayah yang berbeda,
- Sinergi yang harmonis antara tradisi dan dunia modern
Ngayah secara langsung dan tradisi memang tetap harus ada. Semua tetap harus tetap bisa melakukannya, namun kini bentuknya tidaklah mutlak. Bebantenan tidak bisa digantikan hanya dengan otomatis, semua harus sesuai tata-titi yang sudah ada. Peran seorang serati tidak bisa tergantikan, harus ada yang paham dan bisa tetap mengerjakannya secara manual. Begitupun penjor hanya bisa berdiri jika para pemuda yang ngayah untuk mengerjakannya dengan apik sehingga tampak agung, penuh taksu sebagai bagian dari upacara.
Apa yang kemudian bisa disinergikan adalah bagian lain dari sebuah upacara. Misalkan pengaturan jadwal ngayah dibuat secara apik dan perhitungan dengan menggunakan Excel. Pembiayaan upacara diatur dengan efisien dan penuh perhitungan dengan software keuangan sehingga tidak terlalu menjadi beban bagi masyarakatnya. Mereka yang sibuk menjadi dokter di rumah sakit, bisa ngayah dengan melakukan pemeriksaan rutin di banjarnya. Segala tata cara upacara, pembelajaran tentang fungsi banten, pembelajaran sastra, literasi Hindu, Tatwa Hindu, dan sebagainya agar tetap lestari perlu dibuatkan dokumentasi dengan photo dan video yang profesional agar pembelajaran dan regenerasinya makin mudah diakses dan tetap menarik untuk dipelajari semua kalangan.
Jadi, bentuk ngayah itu intinya adalah sebuah harmoni antara tradisi yang sudah berjalan dengan apa yang sedang terjadi di jaman di mana kita hidup sekarang.
Ngayah Adalah Pilihan Hati
Di tengah dunia yang sibuk dan penuh tuntutan, ngayah adalah jeda yang mengingatkan kita:
Hidup bukan hanya soal menerima, tapi juga memberi.
Apakah kemudian ngayah secara langsung dan cara-cara tradisional akan hilang begitu saja? Jawabannya tentu tidak! Hal tersebut adalah apa yang membentuk kita, umat Hindu, hingga kini. Penjor tetap harus berdiri dan dibuat langsung, tetaring harus ada, sunari harus dibuat dengan perhitungan hingga suaranya merdu, ngelawang harus ada yang megambel dan pengiringnya, dan sebagainya. Mungkin kita tidak bisa selalu hadir di setiap upacara, mungkin kita tidak bisa selalu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tersebut secara langsung, semua harus membuka mata dan pikiran agar terjadi harmoni di dalam pelaksanaannya.
Ngayah secara langsung adalah tetap menjadi kewajiban untuk menjaga nilai-nilai tradisi yang telah diturunkan kepada kita. Nilai pengabdian, keikhlasan, dan sebuah dedikasi atas kepercayaan yang kita yakini. Namun dengan perkembangan jaman dan teknologi, hal tersebut tidak lagi menjadi mutlak, namun perlu disesuaikan.
Manusia Hindu tetap harus hidup secara layak, maka itu mereka tetap harus bekerja, mencari nafkah untuk keluarga mereka, itu adalah hak asasi setiap manusia. Jangan kemudian kita menjadi antipati kepada orang lain hanya karena mereka tidak bisa ikut ngayah di pura. Semua harus ada toleransi yang cukup agar hidup ini menjadi nyaman bagi semua orang. Begitupun mereka yang bekerja, apakah bekerja itu menjadi kewajiban mutlak untuk dibela mati-matian dan mengesampingkan kewajiban kita di masyarakat? Kita perlu bersosialisasi, kita harus sadar bahwa entah kapan kita kembali kepada-Nya, dan melalui ngayah bisa kita seimbangkan kewajiban dunia dan akhirat.
Bukankah tradisi itu sendiri adalah bagian dari jawaban aksi dan reaksi manusia terhadap jamannya?
_____________________
Bagaimana bentuk ngayah versimu di zaman sekarang?
Bagaimana cara menyeimbangkan antara ngayah digital atau hadir langsung di pura?
Ceritakan pengalamanmu, siapa tahu bisa menginspirasi sesama umat.